Selasa, 19 Mei 2015

Gadis kecil itu bernama Isaya

Gadis kecil itu bernama Isaya

Aku teringat waktu itu aku masih bekerja di kedai kopi dengan posisi sebagai pelayan. Karena untuk menyelesaikan kuliah ternyata memerlukan biaya yang tidak sedikit. Aku bekerja di kedai tersebut karena ajakan temanku Benny. Karena aku pikir aku punya waktu dan masih perlu uang, maka kuterima ajakan tersebut.
Menjelang akhir tahun, tiba-tiba Benny menyodorkan sebuah brosur dengan ajakan membantu anak-anak kecil di dunia ketiga seperti di Asia, Amerika Latin atau Afrika, yang dikelola oleh sebuah organisasi Kristen. Anak-anak kecil yang hidup dalam kekurangan dan kemiskinan. Mereka tak cukup makanan, tak cukup air bersih, tak ada obat-obatan dan mungkin mereka tidak akan pernah mendapatkan pendidikan pula.
"Ben, apa kau pikir aku kebanyakan uang ?"
"Ala, apa sih beratnya menyumbang duapuluh dolar sebulan. Kamu menyumbang duapuluh dolar sebulan tidak membuat kamu jatuh miskin. Dan kau harus berpikir bahwa sumbangan ini untuk menyelamatkan hidup seorang anak kecil." kata Benny dengan mencoba mempengaruhiku.
Aku terdiam. Aku tidak mengerti ucapan Benny itu. Aku hanya berpikir, karena uangku pas-pasan. Dan dalam hal sumbang menyumbang, aku sudah memberi persembahan setiap Minggu di gereja. Masa sekarang mau ditambah lagi?
"Nih kamu tanda tangani dibawah sini. Dan kalau kamu nggak ada uang sekarang pakai uangku dulu." Aku seperti terhipnotis mendengar ajakan Benny tersebut. Sekitar dua minggu kemudian aku mendapatkan balasan dari organisasi Kristen tersebut. Disertai dengan sebuah foto dari seorang gadis kecil berusia lima tahun yang tinggal di sebuah negara di Afrika. Gadis kecil itu bernama Isaya.
***
Waktu terasa berlalu dengan cepat, aku pun telah lulus dari kuliahku. Aku masih berhubungan dengan Benny. Kami tidak hanya bertemu di gereja tetapi juga di tempat bekerja. Dimana kami bersama-sama bekerja di perusahaan kimia tambang emas. Sebagai sarjana yang baru lulus maka tak ayal lagi aku bekerja mulai dari tingkat pemula. Demikian pula dengan Benny. Dan kami bersyukur atas berkat Tuhan ini. Gaji tidak begitu besar tapi uang tersebut dapat kami gunakan sesuai dengan kebutuhan kami.
Benny cukup aktif dalam pelayanan gereja. Dia pula yang sering mendorong aku untuk ikut pelayanan, ikut persekutuan dan mengingatkanku tidak patah semangat untuk  membiayai Isaya, gadis kecil yang hanya ku kenal lewat foto. Dan karena kesibukanku, sehingga aku tak terasa setiap bulan menyisihkan sebagian dari gajiku untuk gadis kecil itu, yang dulunya aku merasa enggan untuk membantunya.
Bulan demi bulan telah lewat, musim demi musim berlalu. Tiga tahun sudah berlalu. Menjelang hari Natal sebuah kartu dikirim dari Afrika. Ternyata Isaya yang mengirim kartu Natal melalui organisasi kristen tersebut. Selain selembar kartu Natal yang ditulis oleh Isaya sendiri, tulisan tangannya agak kurang beraturan tetapi aku masih dapat membacanya, didalam amplop tersebut juga terdapat sebuah foto Isaya yang memakai seragam sekolah.
"Tuan Christian yang dikasihi oleh Tuhan Yesus. Saya telah menerima surat balasan tuan Christian. Saya tidak lupa berdoa untuk kesehatan tuan Christian. Tuhan memberkati.
Terima kasih pula untuk boneka yang tuan Christian berikan. Saya menyukainya. Saya bermimpi suatu hari saya dapat bertemu dengan tuan Christian. Tertanda Isaya."
Foto Isaya aku letakkan di atas lemari es bersama foto-foto yang sebelumnya telah dikirim oleh organisasi Kristen tersebut setiap tahunnya.
***
Lagi-lagi Benny yang membuatku tidak habis pikir. Kebetulan kami berdua akan dikirim ke kantor cabang kami yang berada di Afrika selama tiga minggu. Lalu Benny mengusulkan padaku untuk mengunjungi anak-anak yang kami bantu melalui organisasi Kristen itu.
"Kapan lagi kamu bisa ke Afrika?" tanya Benny. "Ini kesempatan namanya."
"Ben, kita ke Afrika bukan dalam rangka bersosialisasi tetapi masih banyak pekerjaan yang harus kita selesaikan." kataku mengingatkan Benny.
"Apa salahnya sih kalau kita menyisihkan waktu kita untuk mengunjungi anak yang kita bantu. Aku yakin mereka akan sangat gembira sekali. Lagipula apa kamu tidak ingin melihat anak yang kamu bantu selama lima tahun ini bagaimana keadaannya?" sahut Benny menyakinkanku. Memang benar, kadang aku ingin tahu bagaimana sih keadaannya sekarang, anak yang kubantu itu.
Tahun ini usia Isaya mencapai sepuluh tahun. Dikatakan dalam surat terakhirnya, dia masuk sekolah kelas empat. Aku pikir Tuhan itu sungguh ajaib. Bagaimana tidak, aku yang tidak mengenal Isaya, kini aku mengarungi lautan yang jaraknya puluhan ribu kilometer dengan salah satu tujuan menemui gadis kecil itu.
Aku juga bersyukur pada Tuhan yang telah memakai Benny untuk mengajakku membantu Isaya. Hatiku merasa berdebar untuk dapat bertemu dengan Isaya di rumahnya. Meski aku berkata dalam hatiku, aku hanya akan menemui seorang gadis kecil yang kubantu selama lima tahun ini. Tetapi entah kenapa, perasaanku tegang. Benny diajak oleh rombongan lain untuk menemui anak yang dibantunya di kampung lain. Aku sudah menemui ibu Isaya, seorang ibu yang sederhana, yang sedang mengasuh tiga orang adik Isaya. Kami menunggu Isaya pulang dari sekolah.
Jam duabelas lebih sepuluh menit, aku melihat seorang gadis kecil yang berseragam sekolah berjalan menuju arah kami. Isaya persis seperti yang pernah kulihat dari fotonya. Seorang gadis kecil yang berkulit kelam dengan rambut keritingnya yang dikepang dua. Roger Hartman, pengurus dari organisasi Kristen tersebut dan sekaligus yang mengantarku ke rumah Isaya, menghampiri Isaya terlebih dahulu dan bercakap dengan Isaya beberapa saat. Lalu ia menggandeng Isaya ke arahku.
"Halo, Isaya." sapaku.
Dia terdiam sesaat dan memandangku. Aku menghampiri untuk memberi salam. Roger menghampiri Isaya dan berbisik padanya. Isayapun maju menghampiriku dan memberikan tangannya untuk bersalaman.
Aku pun berjongkok membuka kedua tanganku memeluk Isaya. Dia membalasnya. Aku serasa mimpi. Inilah gadis kecil yang selama lima tahun hanya kukenal melalui koresponden surat dan tak pernah kubayangkan akan bertemu dengannya, sekarang aku memeluknya. Isaya memelukku erat. Kurasakan sesuatu yang hangat di leherku. Isaya terisak menangis, air matanya mengalir di leherku. Aku tahu itu isak tangis Isaya yang bahagia. Mimpinya menjadi kenyataan. Hatiku tersentuh. Isaya menginginkan pertemuan ini terjadi. Seperti yang diceritakan oleh ibunya padaku.
"Tuan Christian, terima kasih....terima kasih." ucap Isaya dengan agak kaku.
"Panggil aku Christian." aku tersenyum kepada Isaya.
Memang aku tak menyangka bahwa sumbanganku setiap bulan itu berdampak begitu besar atas diri Isaya dan keluarganya. Sebelumnya mereka tidak mempunyai kamar mandi dan jamban sendiri, karena mereka tidak mempunyai biaya untuk mendirikannya. Setelah aku menyumbang, organisasi Kristen tersebut mulai membuat saluran air besih dan mendirikan kamar mandi serta jamban. Kamar mandi keluarga Isaya sekarang telah digunakan bersama dengan tiga keluarga tetangga lainnya. Isaya mempunyai seragam dan peralatan sekolah serta sepatu yang layak dipakai. Keluarga Isaya mampu membeli seekor sapi yang dapat diminum susunya dan sepasang ayam yang dapat dimakan telurnya.
Aku bersyukur pada Tuhan dapat membantu Isaya dan keluarganya. Aku tahu masih banyak Isaya-Isaya lainnya yang masih menunggu uluran tangan orang yang mampu dan mau membantu mereka.
Sebab ketika Aku lapar, kamu memberi Aku makan; ketika Aku haus, kamu memberi Aku minum; ketika Aku seorang asing, kamu memberi Aku tumpangan; ketika Aku telanjang, kamu memberi Aku pakaian; ketika Aku sakit, kamu melawat Aku; ketika Aku di dalam penjara, kamu mengunjungi Aku........Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku. Matius 25:35, 36, 40.
Vancouver 1832004

http://www.airhidup.com/article/gadis-kecil-itu-bernama-isaya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.